Opini

Pengaturan Penguasaan Tanah Oleh Orang Asing

oleh: DR. I Made Pria Dharsana, SH. MHum

Dr. I Made Pria Dharsana, SH., MHum.**

Bagikan Ke

halonotariat.id – Konsepsi penguasaan tanah melahirkan hak penguasaan tanah oleh negara dan individu. Negara dan individu adalah dua hal yang berbeda dalam hubungannya dengan tanah. Hubungan individu dengan tanah melahirkan hak dan kewajiban, sedangkan hubungan negara dengan tanah melahirkan kewenangan dan tanggung jawab.

Kekuasaan negara atas tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu. Artinya sampai seberapa jauh negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakannya, sampai disitulah kekuasaan negara tersebut.

Konsepsi penguasaan negara berkaitan dengan tugas dan wewenang negara untuk memajukan kesejahteraan rakyat, yang secara teoritik dikenal dengan negara yang menganut paham negara kesejahteraan (welfare state). Dalam negara kesejahteraan, maka individu tetap diakui hak-haknya, sekalipun terbatas atas bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Kebijakan di bidang pertanahan terhadap Orang Asing secara normatif mendapat pengaturan dalam Pasal 42 dan Pasal 45 UUPA yang menyatakan bahwa orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat mempunyai hak pakai atas tanah dan hak sewa.  Penguasaan tanah oleh Orang Asing harus berdasarkan perbuatan hukum atau peristiwa hukum tertentu.

Perbuatan hukum yang memberikan hak kepada Orang Asing untuk menguasai tanah di Indonesia antara lain : pemberian hak oleh negara atau pemerintah, jual beli , perjanjian pemberian hak oleh pemilik hak milik atas tanah dan perjanjian pemberian hak sewa untuk bangunan. Sedang peristiwa hukum yang memberi mereka hak adalah karena pewarisan.

Dalam kaitannya dengan tanah sebagai akibat masuknya arus modal asing ke Indonesia, UUPA sudah mengatur dan memberikan rambu yang jelas melalui rumusan pengaturan hak-hak atas tanah. UUPA telah bersifat antisipatif terhadap perkembangan yang akan terjadi terkait dengan hubungan Orang Asing terhadap tanah meskipun sangat sumir sebagai konsekuensi pengembangan wawasan kebangsaan yang cukup kuat dalam mendobrak watak kolonialis produk hukum sebelumnya yang mencengkeram bangsa Indonesia selama 15 tahun menjadi bangsa dan negara merdeka (tahun 1945 sampai tahun 1960).

Baca Lainnya:  COVERNOTE : “Perbincangan Yang Tidak Pernah Selesai”

Bertalian dengan hak-hak atas tanah bagi Orang Asing dan/atau badan hukum asing, baik untuk rumah tempat tinggal maupun untuk keperluan bisnis, hukum positifnya secara tegas mengatur bahwa Orang Asing dan/atau badan hukum asing diberikan peluang sebagai subyek hak atas tanah dengan syarat-syarat dan pembatasan jangka waktu.

Pada pihak lain dalam Pasal 45 UUPA ditetapkan bahwa orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat menjadi pemegang hak sewa atas tanah untuk bangunan. Yang menyewakan tanah ini adalah khusus Warga Negara Indonesia yang memiliki hak atas tanah. Pengaturan lebih lanjut terhadap keberadaan pasal tersebut adalah pada PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia.

Pasal 1 PP Nomor 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia yang kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan nasional, dapat memiliki sebuah rumah untuk tempat tinggal atau hunian.

Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan bahwa rumah tersebut bisa berdiri diatas tanah dengan status hak pakai atas tanah negara maupun hak pakai diatas tanah milik orang lain berdasarkan perjanjian secara tertulis dihadapan PPAT, atau satuan rumah susun yang dibangun diatas bidang tanah hak pakai atas negara.

Menurut Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor  7 Tahun 1996, rumah yang boleh dimiliki oleh orang asing tersebut terbatas pada rumah yang tidak tergolong pada rumah sangat sederhana dan rumah sederhana. Atau dengan kata lain, yang boleh dimiliki oleh orang asing hanya rumah dalam klasifikasi menengah dan mewah.

Perjanjian kepemilikan rumah bagi Orang Asing yang dibuat dihadapan PPAT harus dimasukkan didalam sertifikat atas tanah yang bersangkutan. Jangka waktu perjanjian dibatasi tidak lebih dari 25 (dua puluh lima tahun), dan dapat diperbaharui untuk paling lama 25 (dua puluh lima tahun) sepanjang Orang Asing tersebut masih bertempat tinggal di Indonesia.

Baca Lainnya:  Memahami Putusan MA RI No.20 PK/Pid/2020 Bagi Notaris Dalam Pusaran Masalah Hukum

Apabila Orang Asing tersebut sudah tidak berkedudukan di Indonesia lagi, maka dalam jangka waktu satu tahun setelah ia meninggalkan Indonesia, rumah tersebut harus dilepaskan haknya kepada orang lain yang memenuhi syarat.

Jika ketentuan ini dilanggar, maka terhadap rumah yang berada ditanah dengan status hak pakai atas tanah negara akan dilelang. Sedangkan terhadap rumah yang tanahnya dengan status hak pakai atas milik orang lain akan kembali kepada pemilik tanah semula tanpa harus ada ganti rugi.

Pengaturan hak-hak atas tanah bagi orang asing dalam peraturan perundang-undangan antara lain dapat dilihat dalam Pasal 42, 45 dan 55 UUPA. Ketentuan tentang HGU, HGB  maupun Hak Pakai tersebut dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor  40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.

Sedangkan pada pihak lain dalam Pasal 45 UUPA ditetapkan bahwa orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat menjadi pemegang hak sewa atas tanah untuk bangunan. Pengaturan lebih lanjut terhadap keberadaan pasal tersebut adalah pada PP 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia.

Adapun rumah tempat hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing yakni berupa, 1. Rumah Tunggal dengan Klasifikasi perolehan Hak Pakai atau Hak Pakai di atas Hak Milik. Dan 2. Sarusun yang dibangun di atas bidang Hak Pakai, yang dikuasai berdasarkan perjanjian pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik dengan akta Pejabat  Pembuat Akta Tanah.

Bentuk perjanjian dalam penguasaan tanah oleh Orang Asing dengan instrumen berdasarkan ketentuan Pasal 1320, dan 1338 KUH Perdata.  Mengenai bentuk perjanjian yang dipilih sebagai instrumen hukum penguasaan tanah oleh Orang Asing untuk mengikat Warga Negara Indonesia secara empiris, dilakukan melalui perjanjian tertulis yang dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan dan akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris.

Baca Lainnya:  Klausula Eksonerasi Dilarang Oleh Hukum

Kualifikasi akta yang dibuat dihadapan Notaris termasuk akta para pihak bukan akta jabatan. Spirit akta yang dibuat dihadapan Notaris adalah adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata.

Bentuk perjanjian yang dibuat oleh Orang Asing yang menguasai hak atas tanah di Bali dengan pola pinjam nama (Nominee) atau memakai nama suami atau istrinya yang berkewarganegaraan Indonesia.

Dengan Nominee proses dari jual beli tanah yang mereka lakukan dirasakan cukup cepat dan mendapatkan jaminan kepastian hukum, karena antara mereka telah membuat suatu kesepakatan dengan membuat suatu perjanjian yang memberi perlindungan hukum. Baik bagi kepada Orang Asing maupun si nomineenya sendiri.

Bagikan Ke

Redaksi
the authorRedaksi
error: Dilarang Copas !!