Opini

Gondhelan Pada “Yang Ngecat Lombok”

Bagikan Ke

halonotariat.id – Perayaan hari kelahiran 101 tahun Nahdlatul Ulama baru saja berlalu. Yang punya job sound system, baris berbaris, paduan suara, katering juga macem-macem vendor… Isi atm-nya sudah betambah sekian digit.

Semakin besar suatu even semakin besar uang yang beredar. Namun di tengah perhelatan tersebut ternyata memantik beragam opini, nano-nano tulisannya. Ada yang pro ada yang kontra, ada yang menyanjung ada yang menguliti secara keras. Itu semua biyasah dan sah sah aja. Saya nggak ikut-ikutan ketipik riak yang mengitari pusaran pemikiran, biarkan kesemuanya jadi kaca benggala masing-masing pihak. Saya berayun-ayun sendiri di ruang sunyi.

Berdasarkan perhitungan kalender Hijriah, NU didirikan pada 16 Rajab 1344 Hijriah. Tandanya, NU mencapai usianya yang ke-101 tahun pada 16 Rajab 1444 Hijriah atau bertepatan dengan 7 Februari 2024. Lembaga yang dibentuk pada  tanggal 31 Januari 1926  sebagai bentuk perwakilan ulama tradisional yang mendapat bimbingan ideologi dari beberapa  tokoh seperti Kiyai Hasyim Asy’ari, Kiyai Wahab Hasbullah serta jajaran ulama lainnya ketika itu  gerakan reformasi kian meluas.

Membaca sebuah even dan kontroversi yang melingkari menggugah tangan untuk menulis. Di tengah fenomena dekadensi lembaga keislaman, konflik kepentingan antar lembaga maupun sekte religiusitas begitu parah dibanding konflik eksternal dengan agama lain. Friksi internal keagamaan yang lainpun pun tak kalah parahnya.

Gesekan internal keislaman sepertinya tidak mengenal ujung pangkal, sekam itu membara sepanjang masa. Ini semacam  moda pemurnian alami terhadap pola ajaran religi atas suatu dogma.

Di tengah karut marut semacam ini muncul kecenderungan privatisasi religiusitas dengan berpijak pada pemahaman bahwa masalah religi merupakan ranah pribadi yang bergantung pada proses keimanan. Proses spiritualisme tumbuh  hingga menjadi peneguh kepercayaan seseorang tanpa berkiblat pada bentuk kelembagaan tertentu atawa mazhab apapun.

Baca Lainnya:  Permohonan Balik Nama SHM, Kini Perlu Menyertakan Kartu BPJS Aktif

Kita semua tau,  betapa elit lembaga hanya bermain retorika tanpa menyentuh kepentingan kaum bawah. Lembaga dengan nama apapun menjadi semacam perusahaan yang bisa dijadikan mesin uang juga bazar kepentingan politik kekuasaan.

Karena masalah keimanan dan ketentraman bathin tidak bisa digeneralisir kemudian muncul persepsi bahwa kesemuanya bermuara pada proses kepribadian. Ini pola purba yang kembali mewarnai jagat teologi di hari-hari ini.

Jadi tanpa lembaga, tanpa partai jika seseorang memiliki spirit memurnikan jiwa, dia akan dipertemukan dengan pembimbing spiritual yang membuatnya mampu memahami rahasia hidup secara tatag, hatinya tentrem dan perasaannya ayem. Dimana pengkayaan bathiniah atawa spiritual melebihi kriterium keagamaan yang cenderung dogmatis. Pribadi semacam itu cenderung melenggang di lorong sunyi sambil  gondhelan (berpegang-red) rapat-rapat pada Sing Ngecet Lombok.(Yang Mewarnai Cabe-red)

Rokimdakas

Bagikan Ke

Redaksi
the authorRedaksi
error: Dilarang Copas !!