Opini

PPJB Berbalut Utang Piutang dan Resikonya

oleh: DR. I Made Pria Dharsana, SH. MHum

DR. I Made Pria Dharsana, SH. MHum

Bagikan Ke

halonotariat.id, Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah perjanjian pendahuluan dan bentuknya bebas. Sebagai perjanjian pendahuluan (Pactum de contrahendo), untuk terjadinya perjanjian pokok yang menjadi tujuan mereka, yakni perjanjian kebendaan.

PPJB merupakan perjanjian yang dibuat oleh calon penjual dan calon pembeli suatu tanah/bangunan sebagai pengikatan awal sebelum para pihak membuat Akta Jual Beli (‘’AJB”) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Aturan hukum PPJB di Indonesia melalui PP Np. 14/2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan sebagaimana diubah dengan PP No.11/2021.

PPJB yang dibuat dihadapan Notaris merupakan akta otentik. Dalam kaitannya dengan akta otentik tersebut, pasal 1870 KUH Perdata telah memberikan penegasan bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

1. PPJB akan dibuat para pihak karena adanya syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu.
2. Dengan demikian PPJB tidak dapat disamakan dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan hak atas tanah /bangunan dari penjual kepada pembeli.

PPJB dibuat di hadapan Notaris ataupun dibuat oleh para pihak tanpa dibuatkan dalam bentuk akta, keduanya tetap mengikat para pihak secara sah.

Dengan begitu, PPJB merupakan kesepakatan awal antara calon penjual dengan calon pembeli yang memperjanjikan akan dilakukannya transaksi jual beli atas suatu benda yang pada umumnya benda tidak bergerak termasuk tanah.

Dalam PP No.14/2016 jo. PP No. 12/2021 pada Pasal 1 menyatakan :

Angka 10
Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli yang selanjutnya disebut Sistem PPJB adalah rangkaian proses kesepakatan antara Setiap Orang dengan pelaku pembangunan dalam perjanjian pendahuluan jual beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebelum ditandatangani akta jual beli.

Angka 11
Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli Rumah atau satuan Rumah susun yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk Rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk Rumah tunggal dan Rumah deret yang dibuat di hadapan Notaris.

Resiko PPJB Berbalut Hutang?

Dalam pembuatan PPJB biasanya diikuti dengan kuasa ( kuasa untuk menjual ) dimaksudkan untuk memberikan kuasa kepada pihak pembeli oleh pihak penjual, untuk mewakili atas nama pihak penjual seandainya dikemudian hari pihak penjual berhalangan hadir.

Baca Lainnya:  IPPAT Jangan Terbelenggu Dengan Aturan Sendiri

Kuasa untuk menjual merupakan salah satu bentuk dari kuasa khusus yang dibuat mengikuti pembuatan perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah di hadapan Notaris. Pembuatan kuasa untuk menjual itu sendiri dilatarbelakangi oleh berbagai hal, diantaranya pemegang hak atas tanah/pemberi kuasa tidak bisa hadir di hadapan pejabat yang berwenang karena dalam keadaan sakit, pemegang hak atas tanah/pemberi kuasa tidak bisa hadir di hadapan pejabat yang berwenang karena tidak berada di tempat sementara waktu.

Penggunaan kuasa mutlak dalam PPJB tanah yang dibuat oleh Notaris, bertujuan hanya untuk memberi perlindungan dan menjamin kepastian hukum kepada para pihak. Terutama kepada pihak pembeli, bahwa nantinya jual beli dapat terlaksana sebagaimana yang diperjanjikan ketika syarat-syarat untuk dapat dilakukan jual beli telah terpenuhi. Penggunaan kuasa mutlak dalam PPJB tanah adalah sah dan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan karena bukan merupakan kuasa mutlak yang dilarang penggunaannya oleh peraturan perundang-undangan.

Apabila PPJB dijadikan sebagai jaminan utang, maka dapat beresiko terhadap kreditur yang dalam hal ini bank. Karena obyek yang dijadikan sebagai jaminan, masih bersifat menggantung. Dalam artian belum pasti kepemilikannya sebelum diterbitkannya AJB.

Kedudukan kreditur konkuren dalam hal terjadinya kepailitan, merupakan kreditur yang tidak memiliki kedudukan utama dalam pembayaran utang oleh debitur. Karena kreditur konkuren tidak memegang hak jaminan atau obyek kebendaan sehingga haknya untuk mendapatkan pelunasan utang adalah paling terakhir setelah pelunasan terhadap kreditur-kreditur utama lainnya (kreditur separatis dan kreditur preferen).

Ketentuan Bank

Beberapa bank memiliki ketentuan internal tersendiri mengenai penjaminan dengan dasar PPJB atas KPR. Apabila PPJB tersebut ingin dijadikan jaminan atas KPR, maka bank memperbolehkan hal tersebut dengan syarat bahwa KPR tersebut untuk memfasilitasi pembelian rumah baru (KPR Primary), serta khusus untuk pembelian melalui developer rekanan dari bank tersebut. Dengan pertimbangan bahwa proses jual beli rumah baru akan memerlukan proses yang tidak singkat sampai dengan terbitnya sertifikat atas rumah tersebut.

Baca Lainnya:  Menteri ATR/Kepala BPN Serahkan Sertipikat Wakaf dan Aset Sekolah di Labuan Bajo

Dari segi aspek Developer rekanan, dikarenakan apabila terjadi resiko hukum pada bank, terkait dengan jaminan yang masih berupa PPJB tersebut, Bank melakukan gugatan dan/atau tuntutan hukum kepada Developer berdasarkan perjanjian kerjasama rekanan antara Bank dan Developer.

Untuk pembelian rumah baru (KPR Secondary), maka saran kami, anggunan yang dijaminkan tetap berupa bangunan yang telah selesai proses AJB nya dan telah diterbitkan Sertifikat atas tanah tersebut.

Dalam prakteknya, bank hanya dapat menerima objek berupa tanah dan bangunan yang dapat dibebani hak tanggungan. Tanah dan bangunan yang akan dijadikan sebagai jaminan, harus berstatus sebagai hak milik, hak guna usaha atau hak guna bangunan.

Dan PPJB hanya berupa bentuk kesepakatan yang belum berstatus hak milik, hak guna usaha atau hak guna bangunan. Sehingga tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan. Walaupun dibeberapa Bank, ada menggunakan mekanisme pemberian jaminan dengan Fidusia, karena sertifikat masih dalam proses pemecahan dan akan dibaliknama ke atas nama Debitur.

Pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali dalam PPJB, bukanlah termasuk kedalam kuasa mutlak yang dilarang oleh instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 14 Tahun 1982, tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. Sehingga status hukumnya sah-sah saja untuk dilakukan.

Untuk jaminan kepastian hukum mengenai penguasaan atau peralihan hak atas tana, maka perlu dilaksanakan pendaftaran peralihan hak atas tanah. Dengan dasar PPJB sebagai perjanjian awal, maka peralihan hak atas tanah bisa segera dibuatkan AJB dihadapan PPAT.

Alasan larangan penggunaan hak mutlak ini karena pembuatan kuasa mutlak sering disalahgunakan untuk melakukan jualbeli secara terselubung. Larangan penggunaan hak mutlak dapat ditemui dalam pasal 39 ayat 1 huruf (d) PP 24 tahun 1997. *

Baca Lainnya:  Diskusi Hukum Rutin INI dan IPPAT Karawang, Tulus Mengabdi Semangat Berkontribusi

Penulis : Notaris & PPAT, Akademisi dan Tim Pakar Ikatan Notaris Indonesia

Bagikan Ke

Redaksi
the authorRedaksi
error: Dilarang Copas !!