Opini

NJOP Tidak Lagi Dasar Penetapan Pajak Jual Beli Tanah

Oleh: Dr. Adam Pramana Putra S.H., M.Kn.

Dr. Adam Pramana Putra S.H., M.Kn.

Bagikan Ke

Halonotariat.id – Perhitungan besarnya nilai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada dasarnya didasarkan atas Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), yang merupakan harga tanah rata-rata diperoleh dari transaksi jual-beli.

NJOP ditentukan dengan menggunakan perbandingan harga dengan objek pajak lain yang sejenis atau nilai perolehan atau NJOP pengganti.

Jika NJOP merupakan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli, maka secara argumentatif NJOP merupakan dasar penetapan besaran pajak penjualan atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang harus dibayarkan oleh penjual dan pembeli kepada Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda), pada saat setelah melakukan jual beli tanah.

Namun dalam Disertasi Adam Pramana Putra dituliskan Perhitungan dan Penetapan Tarif Pajak Jual Beli Tanah Berdasarkan Prinsip Keadilan, dimana fakta sosiologis yang menunjukkan bahwa di beberapa daerah NJOP tidak lagi digunakan sebagai dasar penetapan pajak jual beli tanah/BPHTB.

BPHTB yang perhitungannya semula didasarkan dari nilai jual obyek pajak, saat ini didasarkan atas nilai harga pasar. Selanjutnya harga pasar inilah yang menjadi dasar penetapan nilai pajak oleh Dispenda, yang saat ini dilakukan oleh Badan Pengelolaan Aset dan Keuangan Daerah.

Problem yuridisnya adalah bahwa harga pasar sebagai dasar penentuan pajak penjualan tidak diketahui dasar hukumnya, kewenangannya, termasuk parameter uang digunakan.

Selama ini masyarakat hanya mengetahui, bahwa dasar perhitungan pajak jual beli adalah NJOP, yang ditentukan berdasarkan Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.

Masyarakat tidak mengetahui sama sekali jika dasar perhitungan pajak jual beli adalah harga pasar.

Harga pasar ditetapkan dan dikeluarkan oleh Dispenda, tanpa dilakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat. Bahkan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang bidang pekerjaannya berhubungan langsung dengan perbuatan hukum jual beli dan pembuatan akta jual beli tanah serta berhubungan dengan pajak jual beli tanah, tidak mengetahui tentang penetapan harga pasar sebagai dasar penetapan pajak jual beli tersebut.

Baca Lainnya:  PD Notaris Oikumene Immanuel Terbentuk Nasional Online

Produk hukum penetapan harga pasar BPHTB

Di samping itu, masyarakat juga tidak mengetahui bentuk produk hukum yang digunakan sebagai dasar atau acuan penetapan harga pasar tersebut.

Bentuk produk hukum tentunya sangat penting, khususnya terkait dengan hak masyarakat untuk mengajukan keberatan.

Hal ini sangat terkait dengan upaya yang harus ditempuh oleh masyarakat yang merasa dirugikan akibat penetapan harga pasar, yang berdampak pada besaran BPHTB.

Dalam perpajakan, keberatan subyek atau wajib pajak terkait dengan penetapan pajak disebut dengan istilah sengketa pajak.

Bentuk produk hukum tentunya sangat penting untuk diketahui, khususnya untuk menentukan upaya yang harus ditempuh oleh masyarakat, jika produk hukum tersebut merupakan keputusan pemerintah. Maka tentu akan mengarahkan masyarakat akan kemana terkait dengan upaya memperoleh keadilan yang berkaitan dengan penetapan harga pasar yang bersifat sepihak tersebut.

Pada penetapan besarnya BPHTB, tidak jarang terjadi perbedaan besarnya beban pajak antara perhitungan yang dilakukan oleh wajib pajak dan perhitungan yang dilakukan petugas fiscus.

Perbedaan tersebut pada akhirnya berujung pada timbulnya sengketa pajak. Kejelasan penetapan harga pasar dan bentuk produk hukumnya, dirasakan sangat penting sebagai realisasi asas-asas dalam perpajakan. Khususnya asas kepastian hukum dan asas pemerataan atau asas keadilan.

Di samping itu, kejelasan adanya lembaga penyelesaian sengketa pajak mutlak diperlukan sebagai sarana legal formal untuk menyelesaikan setiap sengketa pajak dalam ruang lingkup kompetensi yang telah diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, lembaga tersebut mempunyai tugas yang cukup berat untuk menegakkan peraturan (dalam rangka untuk kepastian hukum). Serta menegakkan keadilan, baik bagi fiskus sebagai pemungut pajak, maupun bagi wajib pajak sebagai pembayar pajak.

Terkait harga pasar sebagai dasar penetapan BPHTB, oleh masyarakat khususnya penjual dan pembeli tanah, dianggap kurang memberikan rasa keadilan. Karena menurut Pasal 79 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, ditentukan bahwa nilai jual obyek pajak sebagai dasar perhitungan PBB Pedesaan dan Perkotaan.

Baca Lainnya:  Menilik Pasal RUU KUHP Tentang Pemilik Ilmu Ghaib Atau Dukun Santet

Penentuan NJOP, yang besarannya ditetapkan oleh Kepala Daerah, setiap 3 (tiga) tahun sekali dilakukan evaluasi. Dengan alasan untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang ada, untuk dilakukan pemutakhiran besaran pajak.

Namun kenyataannya sebagian besar Pemerintah Daerah tidak melakukan pemutakhiran data nilai NJOP yang disesuaikan dengan perkembangan keadaan terkini. Yang pada kenyataannya tetap menggunakan nilai NJOP taksiran 3tahun atau lebih yang sudah tidak relevan lagi.

Perlunya pemutakhiran data harga tanah tentu saja perlu dilakukan. Karena berkaitan dengan nilai tanah dan bangunan, yang secara idealnya akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Di sisi lain, tidak dilakukannya pemutakhiran data NJOP, tentunya akan menyebabkan timbulnya kerugian penerimaan pajak daerah dan akan berpengaruh pada Penerimaan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu sumber Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), untuk membiayai pembangunan.

Di samping itu, penggunaan data NJOP yang lama, akan menyebabkan taksiran penetapan pajak dan taksiran harga tanah, akan berada dibawah nilai yang sebenarnya.

Dengan demikian, NJOP yang seharusnya dapat menjadi dasar penetapan harga transaksi atas objek tanah dan/atau tanpa bangunan, pada akhirnya tidak dapat melaksanakan perannya. Baik dalam transaksi perdagangan maupun transaksi perpajakan.

*Penulis adalah Notaris/PPAT Kab. Mojokerto, Pengurus Daerah dan Wilayah Ikatan Notaris Indonesia / Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

Bagikan Ke

Redaksi
the authorRedaksi
error: Dilarang Copas !!