halonotariat.id – Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki banyak hamparan hutan yang dalam hal penguasaannya masih diatur oleh hukum tanah Indonesia melalui UUPA dan peraturan perundang-undangan yang lain.
Dalam penguasaannya, hutan dikuasai oleh Negara untuk mengatur, mengurus yang berkaitan dengan hasil hutan dan mengatur subyek hukum dengan hutan serta penghormatan terhadap masyarakat hukum adat. Kesemuanya sebagai implementasi dari hak menguasai tanah oleh Negara sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) UUPA.
Sebagai hak menguasai tanah oleh Negara termasuk hutan, UUPA memberikan pengaturan kepada Negara dalam hal mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah beserta segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Oleh sebab itu dalam penguasaan hutan, menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai dasar Negara untuk memberikan manfaat atas hutan sebagai karunia Tuhan yang patut disyukuri.
KEWENANGAN PERHUTANI DALAM MENGUASAI LAHAN HUTAN
Pendelegasian penguasaan lahan hutan dewasa ini dibawah kewenangan Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani) berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Selanjutnya disebut PP Perhutani. Bahwa dengan dasar Pasal 3 ayat (1) tersebut, Perhutani sebagai badan hukum milik Pemerintah yang diberikan kewenangan untuk melakukan penguasaan lahan hutan berupa pengelolaan hutan-hutan Negara. Limitatif terkait peruntukan, persediaan dan hubungan hukumnya.
Adanya Perjanjian Kerjasama (PKS) Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Hutan untuk Kegiatan Wisata antara Perum Perhutani dengan pihak ketiga, bertujuan untuk mengembangkan kegiatan wisata dengan memanfaatkan potensi yang ada serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
PKS tersebut memanfaatkan lahan Kawasan seluas 7,2 Ha serta adanya pembagian keuntungan dan/atau bagi hasil atas kegiatan usaha tersebut kepada pihak-pihak dalam PKS itu.
Kerjasama dengan pihak ketiga yang dilakukan Perhutani dapat dikatakan terdapat syarat-syarat yang lebih ketat karena Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara yang wajib tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam peraturan Menteri yang menaungi Perhutani. Sekilas secara hierarki, Perhutani secara kelembagaan tunduk dan masuk dalam struktur Kementerian Badan Usaha Milik Negara karena sifat perusahaan umum yang dijalankan diatur dalam UU BUMN. Tetapi secara teknis kegiatan, tunduk pada Kementerian Kehutanan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 8 PP Perhutani.
Hal ini harus dibedakan dalam dimensi untuk tata kelola perusahaan tunduk pada pengaturan UU BUMN untuk menuju good corporate governance serta secara teknis tunduk pada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bidang Kehutanan.
Berkaitan dengan perjanjian dan/atau Kerjasama yang dilakukan oleh Perhutani dengan dasar ketentuan Pasal 11 ayat (3) huruf a, terdapat beberapa kaidah yang perlu diperhatikan sebelum Perhutani melakukan Kerjasama atasnama optimalisasi bisnis perusahaan, diantaranya:
a. Syarat wajib mendapatkan persetujuan Menteri apabila Direksi Perhutani melakukan perbuatan hukum berupa Kerjasama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (1) huruf b;
b. Memperhatikan lahan yang digunakan Perhutani ialah tanah negara berdasarkan konsep Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 serta Pasal 2 UUPA, kaitannya dengan kelestarian ekosistem dan sumber daya alam hutan;
c. Substansi Kerjasama tidak boleh menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam UU Kehutanan, PP Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, PP Perhutani.
Penetapan pembagian hasil keuntungan menurut PKS jika dikaitkan dengan makna hak menguasai Negara atas tanah berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD, Pasal 2 UUPA, PP Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta ketentuan Pasal 33 ayat (1) PP Perhutani bertentangan satu dengan yang lainnya.
Mengapa demikian?, meskipun dalam dasar pembuatan PKS menyebutkan adanya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.50/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Kegiatan Kerjasama Usaha Perum Perhutani dalam Kawasan Hutan, seharusnya manfaat yang diberikan oleh suatu kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam konsep hak menguasai negara digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk suatu korporasi belaka meskipun adanya suatu Kerjasama atau kontraktual.
PKS dengan ketentuan adanya sharing keuntungan atau bagi hasil, kepada korporasi serta beberapa aparat dengan tidak ada dasar, merupakan suatu klausula yang melanggar peraturan perundang-undangan.
Konsep kelestarian dan perlindunagn hutan sebagaimana kegiatan utama Perhutani, justru diabaikan dengan melakukan Kerjasama PKS dengan melakukan alih fungsi hutan menjadi obyek wisata, Sehingga harusnya PKS tersebut batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada suatu kontraktual, karena sudah error in object sebagaimana ketentuan Pasal 1320 (4) BW.
Oleh karena itu, Kewenangan Perhutani dalam mengalihkan lahan yang semula hutan menjadi obyek wisata alam, jika merujuk pada ketentuan Pasal 11 ayat (3) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara serta misi Perhutani adalah untuk melakukan bisnis-bisnis guna kelangsungan usaha dalam rangka optimalisasi potensi sumber daya yang dimiliki.
Sedangkan Dasar pembagian hasil dalam Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Hutan dengan pihak ketiga, yang pertama ialah tafsir atas asas kebebasan berkontrak sebagaimana dimaksud Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, dikaitkan dengan kebolehan melakukan Kerjasama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara.
Namun pada pelaksanaannya, Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Hutan tersebut bertentangan dengan konsep hak menguasai negara atas tanah serta Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan sehingga semestinya Perjanjian tersebut batal demi hukum.
Untuk itu, Semestinya Perhutani sebagai suatu korporasi yang mempunyai prinsip profit oriented atasnama Negara berhati-hati dalam melakukan Kerjasama dengan pihak ketiga agar hak menguasai lahan yang diberikan oleh Negara yang semestinya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tidak beralih fungsi menjadi untuk kepentingan korporasi. (*)