Opini

Jual Beli Tanah PPJB Gantung

oleh: DR. I Made Pria Dharsana, SH. MHum

Bagikan Ke

halonotariat.id – Setiap negara menerapkan peraturan yang berbeda terkait hukum jual beli tanah. Di Indonesia, aturan jual beli tanah mengacu pada beberapa instrumen hukum, yaitu Kitab Undang-Undah Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Dalam KUH Perdata, tanah dikategorikan sebagai benda-benda tidak bergerak sesuai dengan Pasal 506 undang-undang tersebut. Oleh karena itu, ketika membeli tanah, yang berpindah bukan objeknya, melainkan hak kepemilikan atas tanah .

Dalam Pasal 1458 dikatakan bahwa “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tertentu beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.”

Sedangkan transaksi menjadi batal bila terjadi ketidaksetujuan dalam perjanjian, kekhilafan atau adanya paksaan dalam menyetujui (Pasal 1321 KUH Perdata).

Konsep dasar transaksi jual beli tanah yaitu terang dan tunai. Terang, berarti dilakukan secara terbuka, jelas objek dan subjek pemilik, lengkap surat-surat serta bukti kepemilikannya. Tunai, berarti dibayar seketika dan sekaligus. Dibayarkan pajak-pajaknya, tanda tangan Akta Jual Beli, untuk kemudian diproses balik nama sertifikatnya.

Namun, pada praktiknya, karena berbagai alasan, konsep terang dan tunai itu seringkali belum dapat dipenuhi. Belum terpenuhi, bukan berarti transaksi tidak bisa dilakukan.

Ada instrumen lain, yaitu dengan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”) sebagai pengikat, sebagai tanda jadi transaksi jual beli tersebut, sambil menunggu yang belum beres.

Belum terpenuhinya persyaratan untuk Akta Jual Beli, bisa jadi karena pembayaran belum lunas/dicicil, sertifikat masih dalam proses pemecahan atau proses lainnya, belum mampu membayar pajak, atau kondisi lainnya yang legal.

Apa Itu Jual Beli Gantung?

  • Prakteknya jual beli hak atas tanah yang belum dibalik nama hak milik atas tanah dengan cara pemberian kuasa menjualkan atau lebih dikenal dengan istilah jual beli gantung, maka timbul suatu penyelundupan hukum yang sangat strategis dan terselubung.
  • Terselubung karena jual beli gantung tersebut bertujuan untuk mencari celah hukum oleh pihak pengkapling tanah untuk tidak mendaftarkannya peralihan tanahnya di Kantor Pertanahan,
  • Di dalam UUPA telah ditentukan bahwa tanah-tanah di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia harus didaftarkan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang berbunyi:
Baca Lainnya:  NJOP Tidak Lagi Dasar Penetapan Pajak Jual Beli Tanah

Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah, yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selain itu juga diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUPA berbunyi: hak milik, demikian juga setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA. Dikatakan strategis karena kuasa menjualkan biasanya bertujuan untuk menghindari pembayaran pajak-pajak dalam peralihan hak milik atas tanah yang akan dijual kembali tersebut.

Hal ini tentunya dapat membawa resiko dan konsekuensi hukum yang pada puncaknya dapat menimbulkan beban tanggung jawab, baik bagi penjual atau pemberi kuasa maupun bagi penerima kuasa atau pihak ketiga yang berkepentingan.

Apa Modus Yang Digunakan Untuk Membuat PPJB Gantung ?

Draf akta atau akta yang hanya ditanda tangan oleh Penjual dengan pemberian kuasa substitusi. Keabsahan PPJB yang dibuat di hadapan Notaris berdasarkan kuasa yang bermasalah (tidak pernah ditandatangani penerima kuasa yang sebenarnya), bahwa akta PPJB tersebut digantung, tidak ditanggalkan, tidak dinomorkan, Tidak ditanda tangani pihak pembeli, Tidak ditanda tangani pada saat yang sama, Tidak dibacakan, Tidak dikenal oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain.

Apa Akibat Hukum Adanya PPJB Gantung?

  • Biasanya PPJB akan dibuat para pihak karena adanya syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh Para Pihak sebelum melakukan AJB di hadapan PPAT. Dengan demikian PPJB tidak dapat disamakan dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan hak atas tanah/bangunan dari penjual kepada pembeli.
  • Hal mana ada pihak yang menggunakan PPJB tersebut sebagai bukti dalam gugatannya setelah 10 (sepuluh) tahun PPJB tersebut dibuat. Hal tersebut bisa saja dilakukan oleh pihak tersebut apabila memang ada hal yang dipersengketakan oleh para pihak dalam suatu perjanjian atau dengan pihak-pihak lain yang mendapat hak dari PPJB tersebut.
  • Dengan demikian, apabila ada pihak-pihak lain, di luar pihak-pihak dalam PPJB, yang digugat dalam perkara tersebut, pihak yang menggugat harus dapat membuktikan adanya hubungan hukum antara penggugat dengan pihak-pihak di luar PPJB tersebut. Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung melalui Putusan MA No. 4 K/Rup/1958 tertanggal 13 Desember 1958, yang memiliki kaidah hukum sebagai berikut:
Baca Lainnya:  INI Rumah Besar, Insya Allah Kongres Selesai Dengan Damai Dan Kekeluargaan

“Untuk dapat menuntut seseorang di depan pengadilan adalah syarat mutlak bahwa harus ada perselisihan hukum antara kedua belah pihak yang berperkara.”

  • Selain itu, mengingat rentang waktu sejak dibuatnya PPJB tersebut sampai dengan perkara tersebut bergulir di pengadilan, belumlah melebihi masa Daluwarsa yang ditentukan oleh hukum untuk menuntut, yaitu selama 30 (tiga puluh) tahun, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1967 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut:

“Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagipula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.”

Benefit Apa Yang Diharapkan Dibuatnya PPJB Gantung ??

  1. Akan dijual atau dialihkan kepada pihak lain dengan harga yang jauh lebih tinggi
  2. Untuk menghindari pajak double karena peralihan.

Untuk memperjelas hal tersebut maka saya akan gunakan perbuatan hukum jual beli sebagai contoh PPAT yang akan membuat Akta Jual Beli, harus memastikan bahwa Akta Jual Beli tersebut berlaku sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum jual beli oleh para pihak (penjual dan pembeli). Sehingga PPAT berkewajiban untuk memperhatikan dan memastikan bahwa benar jual beli tersebut telah berlangsung.

 

PPAT berkewajiban untuk sekurang-kurangnya memperhatikan :

  1. Syarat Sahnya perjanjian (1320 KUHPerdata),
  2. Unsur-unsur yang esensialia dalam jual beli telah dipenuhi,
  3. Telah dilakukan pengecekan (karena ada kewajiban PPAT untuk melakukan pengecekan sebelum membuat akta),
  4. Telah dilakukan Pembayaran Pajak. (saat ini pembayaran pajak menjadi syarat untuk dapat dibuatnya akta PPAT).

Dalam banyak kasus, PPAT yang TERKENA MASALAH baik perdata maupun pidana karena anggapan PPAT hanya menuangkan (mengkonstatir saja).

Baca Lainnya:  Antisipasi Aksi Kejahatan Mafia Tanah

Saya perlu sampaikan, pada saat ini mengenai formalitas pembuatan akta tersebut, PPAT tidak dalam keadaan menuangkan atau mengkonstatir. Tetapi PPAT memastikan perbuatan hukum tersebut telah berlangsung.

Dengan memahami tugas dan fungsi PPAT, maka kita dapat melindungi diri kita, karena kita tahu mana yang kita hanya mengkonstatir dan mana yang harus kita memastikan.

Jika bentuknya adalah akta PPJB Belum Lunas, maka dapat ataupun tidak  disertai dengan akta kuasa, kecuali syarat-syarat pemenuhan suatu kewajiban. Sedangkan jika pembayaran sudah lunas dan dibuatkan akta PPJB Lunas, maka didalamnya diikuti dengan akta kuasa menjual, dan ada pula dengan cara dari penjual kepada pembeli atau dengan akta kuasa menjualkan dari pemegang hak atas tanah kepada pengkapling selanjutnya, dilanjutkan kepada pembeli tanah kapling tersebut.

Pada kuasa menjualkan, mengatur atas pemberi kuasa menjual, melepaskan hak, mengoper atau dengan cara lain memindahtangankan kepada pihak lain, baik secara sebagian maupun keseluruhan. Pada saat pelaksanaan jual beli, maka jual beli akan dilakukan antara pengkapling dengan pembeli tanah kapling tersebut.

Pemberian kuasa dimaksudkan, ketika semua persyaratan sudah terpenuhi, tanpa perlu kehadiran penjual (pemilik tanah awal). Karena sudah terwakili/sudah memberikan kuasa.

Konsep pemberi dan penerima kuasa membentuk suatu ikatan dan hubungan hukum, sehingga penerima kuasa bertindak untuk mewakili pemberi kuasa. Namun demikian, hak dari pemberi kuasa tidak beralih secara mutlak, karena kuasa yang diberikan dapat dicabut atau ditarik kembali oleh pemberi kuasa.

Selama pemberian kuasa berlangsung, maka penerima kuasa berhak untuk bertindak atas berbuat atas nama pemberi kuasa yang terbatas pada substansi yang dikuasakan.

Apakah PPJB Dapat Dibatalkan ?

  • Pembatalan PPJBhanya dapat dilakukan sesuai ketentuan yang mengatur mengenai syarat pembatalan dalam PPJB yang disepakati oleh pembeli dan penjual.
  • Pembatalan PPJB dan Akibat Hukum berpedoman dengan Permen PUPR Nomor 11. PRT/M/2019 tentang sistem perjanjian jual beli rumah(“Permen PUPR 11/2019”).

Bagikan Ke

Redaksi
the authorRedaksi
error: Dilarang Copas !!