Bandung, halonotariat.id – Pengurus Wilayah Jawa Barat Ikatan Notaris Indonesia (Pengwil Jabar INI) menggelar acara Seminar secara Hybrid (Luring dan Daring), yang bertema “Quo Vadis Jabatan Notaris???” antara Peraturan dan Pelaksanaannya.
Bertempat di Grandia Hotel Jalan Cihampelas No. 80-82 Kota Bandung, pada Senin (20/9/2021). Dengan narasumber DR. Herlien Budiono, SH., DR. Winanto Wiryomartani, SH, MHum dan DR. Udin Nasrudin.,SH yang dihadiri lebih dari 500 peserta dari kalangan Notaris, ALB, Dosen dan Mahasiswa.
Ketua Pengwil Jabar INI, Dr. Irfan Ardiansyah,SH., SpN., LLM., dalam konferensi Persnya mewanti-wanti setiap Notaris untuk tidak melakukan penyimpangan dalam menjalankan dan melaksanakan tugasnya.
“Tentunya Kami berharap dalam menjalankan profesinya, para notaris jangan menyimpang dari aturan yang ada, karena hal tersebut akan menjadi celah hukum dan menjadi akta di bawah tangan atau tidak sebagaimana mestinya,” ujar Irfan disela-sela seminar tersebut.
Menurut Irfan, berdasarkan Pasal 1867 KUH Perdata, akta dibagi dua. Antara lain akta di bawah tangan dan akta resmi atau autentik. Akta di bawah tangan sendiri adalah akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat umum atau notaris. Akta ini dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya. Sebaliknya Akta Autentik di buat di hadapan pejabat umum dan yang berwenang adalah Notaris.
Maka dari itu Irfan menyampaikan bahwa dalam membuat akta autentik, seorang Notaris harus mengetahui bentukan formil maupun materiilnya. Sehingga produk yang dihasilkan dapat menjadi alat bukti yang sempurna dan mempunyai kekuatan hukum yang sah.
Bagaimanapun tantangan profesi Jabatan Notaris akan menghadapi perubahan yang signifikan. Karena menghadapi kekinian dengan berubahnya pola kehidupan sosial di masyarakat, dari analog menuju era digital. Secara otomatis hal itu akan terbawa arus oleh sistem digitalisasi.
Notaris dalam melaksanakan peran dan fungsi tugasnya, berpatokan kepada Undang Undang Jabatan Notaris ( UUJN). Maka dari itu, dengan menghadapi era digital ini, produk Notaris berupa Akta autentik merupakan kekuatan hukum pembuktian sempurna yang sah. Tentunya akan berbenturan dengan praktek-praktek proses pembuat akta yang melanggar UUJN dan Kode Etik Notaris.
Menurut pakar hukum perdata, Dr. Herlien Budiono,SH., dalam seminar mengatakan bahwa sistem notariat di Indonesia, belum bisa dilakukan secara digital. Karena sarana dan prasarananya yang masih belum menunjang serta undang-undang dan peraturan pelaksananya belum ada. Walaupun pada saat ini, Notaris berpegang kepada UUJN, itu belum cukup.
“Dalam Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris harus berhadapan dan menghadap atau bertemu langsung untuk menjamin keaslian dan kebenarannya. Hal ini sangat penting dilakukan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan,” ujarnya dalam kesempatan Seminar itu.
Herlien Budino menambahkan, kehadiran pihak-pihak yang terlibat, menjadi hal yang penting. Meskipun saat ini penandatangan digital dapat dilakukan, apabila pejabat berwenang tidak ada atau berhalangan secara kehadiran fisik.
“Jadi kita memang harus membuat regulasi dari sisi cyber law. Jangan hanya instruksi saja, tapi semuanya harus jelas dan lengkap,” katanya.
Pemerintah harus mengeluarkan UU darurat Kenotarisan, jika ingin menerapkan Cyber Notary. “Jika pemerintah akan menerapkan Cyber Notary, maka harus mengeluarkan UU Darurat Notaris, seperti di negara lain. Karena tidak ada dasar hukumnya, jika notariat itu bisa menjadi Cyber Notary dalam UU, “ tegasnya dalam seminar yang digelar secara hybrid tersebut.
Oleh karena itu Herlien menambahkan, tidak ada alasan Notaris memanfaatkan cyber, kecuali hanya sebagai alat penunjang kebutuhan, bukan sebagai legalitas Notaris. (Ted/Red)