halonotariat.id – Pada tulisan sebelumnya Indonesian Tax Care (INTAC) memaparkan tentang adanya tekanan dan ancaman oknum pajak kepada para pelaku usaha. Ini bisa terjadi karena penyalahgunaan wewenang.
Sebagaimana hasil penelitian INTAC bersama Tifa Foundation, menyatakan sistem pajak Indonesia sangat rapuh dan rentan terhadap berbagai masalah. Dua hal menyebabkan rapuhnya sistem pajak Indonesia, yaitu:
- Pembangunan pajak tidak mengarah pada cita-cita pajak bangsa.
- Terabaikannya prinsip self assessment system.
Rapuhnya system pajak juga diperkuat dengan temuan INTAC, sejak tax reform 1983 sampai saat ini, pemerintah tidak pernah memilliki Grand Design pajak, sebagai cetak biru dalam pembangunan sistem pajak Indonesia. Grand Design pajak seharusnya dibuat sebagai dasar acuan dalam memuat rancangan besar arah pembangunan system pajak bangsa.
Kondisi tersebut menjadikan pajak Indonesia tidak memiliki arah yang jelas. Tidak ada patokan dan standar yang bisa dijadikan dasar pembangunan pajak. Menjadikan secara pragmatis pajak hanya diartikan sebatas target penerimaan. Akhirnya penyelenggaraan dan pemungutan pajak lebih memfokuskan diri pada bagaimana mencapai target penerimaan setinggi-tingginya (maximum budget). Mulai dari rancangan perumusan aturan, pelaksanaan pemungutan sampai pemeriksaan pajak lebih pada mengejar target penerimaan setinggi-tingginya. Padahal pajak memiliki jangkauan dan arah cita-cita yang jauh lebih luas dari sekedar target penerimaan semata dan ini harus dirancang menjadi sebuah strategi pencapaian.
Tentunya ini menimbulkan excess negative, dimana banyak oknum memanfaatkan lemahnya sistem yang terbangun untuk kepentingan pribadi. Berbagai kepentingan masuk, mendompleng kepentingan pajak itu sendiri. Para oknum mendompleng kepentingan pajak demi keuntungan pribadi. Kepentingan tersebut saling tumpang tindih antara kepentingan negara, lembaga dan kepentingan pribadi.
Kepentingan pajak dan prestasi pencapaian target penerimaan pajak, menjadi alat efektif menutupi kecurangan atau kepentingan para oknum. Mereka menyalahgunakan wewenang dengan melakukan tekanan dan melanggar hak-hak keadilan masyarakat demi pencapaian target penerimaan. Menjadikan para oknum memiliki kekuasaan absolute menekan wajib pajak. Mereka memungkinkan melakukan ancaman bahkan bisa memperlakukan wajib pajak seenaknya. Tugas dan kepentingan negara menjadi alibi sepak terjang mereka. Ini membuka peluang terjadinya penyimpangan atau korupsi pajak. Tapi sebenarnya yang mendompleng kepentingan pajak bukan hanya masalah korupsi saja tapi juga masalah reputasi, prestasi, kinerja lembaga, jabatan, karir, tunjangan kinerja dan seterusnya.
Berbagai kepentingan tersebut dan pencapaian prestasi target penerimaan pajak, menjadi dua hal saling melengkapi dalam menutupi kecurangan para oknum. Kecurangan ini “tertutupi” oleh prestasi pencapaian target penerimaan pajak. Ini menjadikan berbagai kepentingan termasuk masalah korupsi di lingkungan pajak sulit terhapuskan. Mereka bersembunyi dibalik kepentingan target pajak dan kepentingan negara. Aturan dan Undang-undang pajak menjadi alat yang secara hukum melegalkan tindakan mereka, sekaligus tameng menutupi arogansi para oknum.
Masyarakat minim pengetahuan pajak, bahkan cenderung tidak mengerti pajak. Selama ini pajak dibangun sebatas satu arah bahwa semua sudah ditetapkan sesuai aturan dan masyarakat harus membayar sesuai aturan yang ada. Bila tidak akan terkena sanksi yang berat.
Hal tersebut menjadikan pelaksanaan pemungutan pajak rawan pelanggaraan keadilan dan hak-hak masyarakat. Sekaligus menjadikan fungsi pengawasan tidak berjalan secara maksimal dan sulit menembus. Mereka tidak memiliki kekuatan mengungkap. Kalaupun mampu mengungkap maka akan masuk dalam “pusaran uang”. Kondisi ini menjadikan pelanggaran ataupun penyimpangan yang terjadi di lingkungan pajak terus berjalan. Inilah penyebab menjadikan sistem pajak Indonesia tidak ada kontrol.
Begitu pula dari sisi kebijakan pajak, masyarakat dan pengusaha menjadi fihak yang paling dirugikan karena mereka adalah obyek pencapaian target. Bila target penerimaan tercapai, penyelenggara pajak menganggap pencapaian tersebut merupakan sebuah prestasi. Ini menjadi dasar asumsi bahwa potensi pajak masyarakat masih tinggi. Karena itu kebijakan yang diambil adalah menaikan target penerimaan pajak tahun depannya.
Begitu pula sebaliknya bila target penerimaan tidak tercapai, dianggap sebagai kegagalan karena adanya kesalahan (kebocoran). Ini menjadi asumsi dasar bagi para penyelenggara pajak untuk menaikan target penerimaan pajak tahun berikutnya. Tentu saja pada akhirnya masyarakat dan pengusaha menjadi fihak yang harus menanggung beban tersebut.
Kondisi inilah yang harus dicermati oleh masyarakat khususnya bagi para pengusaha, agar memperhatikan masalah pajak. Pajak bukan untuk ditakuti tapi untuk dipatuhi.