halonotariat.id – Pokok Pembahasan yang menjadi pembahasan adalah pengaturan tindak pidana pemalsuan akta otentik di dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).
Pertanggungjawaban pidana pemalsuan akta otentik, yang biasa digunakan sebagai dasar pengajuan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah, serta perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan karena terbitnya SHM atas tanah yang diajukan dengan akta jual beli palsu.
Bentuk-bentuk pemalsuan surat yang dimuat dalam Bab XII KUHP Pasal 263 sampai dengan Pasal 276 antara lain:
a). Pemalsuan dalam bentuk standard atau bentuk pokok, yang juga disebut sebagai pemalsuan surat pada umumnya (Pasal 263);
b). Pemalsuan surat yang diperberat (Pasal 264);
c). Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta autentik (Pasal 266);
d). Pemalsuan surat keterangan dokter (Pasal 267 dan 268);
e). Pemalsuan surat-surat tertentu (Pasal 269, 270, dan 271);
f). Pemalsuan surat keterangan pejabat tentang hak milik (Pasal 274);
g). Menyimpan bahan atau benda untuk pemalsuan surat (Pasal 275).
Kehati-hatian bagi Notaris dan PPAT adalah, wajibnya Notaris/PPAT mengetahui Hukum Pidana dalam hal terpenuhinya unsur-unsur pidana.
Maka dalam menentukan pertanggungjawaban pidana, harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1) Adanya kesalahan (Dolus & Culpa),
2) Mampu bertanggung jawab, dan
3) Tidak ada alasan pemaaf.
Notaris/PPAT tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, terkait pembuatan akta yang didasarkan pada keterangan palsu para pihak. Dan tidak dapat memenuhi rumusan unsur tindak pidana pemalsuan, dalam Pasal 266 ayat (1) juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP 2.
Pada hakekatnya PPAT selaku Pejabat Umum, hanyalah mengkonstatir atau me-relateer atau merekam secara tertulis dan autentik, dari perbuatan hukum pihak – pihak yang berkepentingan. Dan PPAT tidak berada didalamnya, jika menerima Dokumen Palsu.
Oleh karena itu, akta PPAT atau akta autentik, tidak menjamin bahwa pihak – pihak “berkata benar”. Tetapi yang dijamin oleh akta autentik adalah pihak – pihak “benar berkata”, seperti yang termuat di dalam akta perjanjian pihak-pihak.
Mengenai kebenaran perkataan pihak-pihak dihadapan PPAT, seperti yang termuat di dalam akta bukan tanggung jawab PPAT.
Sebaliknya, PPAT menyatakan bahwa para pihak benar berkata demikian, apakah yang dikatakan dalam akta yang disampaikan itu mengandung kebenaran ataukah kebohongan?, hal tersebut bukan tanggung jawab PPAT.
PPAT hanya mencatat apa yang dikatakan oleh para pihak yang menghadap. Apabila yang dikatakan itu tidak benar (atau mengandung kebohongan dan kepalsuan), maka status akta tersebut tetap asli (bukan palsu).
Akan tetapi yang tidak sah (atau palsu dan bohong) itu adalah keterangan yang disampaikan kepada PPAT, yang selanjutnya dituangkan dan dimuat dalam akta.
Batasan Pidana dalam Jabatan Notaris adalah, ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta. Yaitu yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar melakukan suatu tindak pidana.
Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta dihadapan atau oleh Notaris. Yang jika diukur berdasarkan UU Jabatan Notaris (UUJN) tidak sesuai dengan UUJN, maka Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang. Dalam hal ini dari Majelis Pengawas Notaris (MPN) untuk menilai tindakan suatu Notaris..
Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris, dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan sebagaimana tersebut di atas, dilanggar. Artinya di samping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris, juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP.
Memidanakan Notaris tanpa melakukan penelitian atau pembuktian yang mendalam, dengan mencari unsur kesalahan atau kesengajaan dari Notaris, merupakan suatu tindakan tanpa dasar hukum yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Notaris yang dituduh dengan kualifikasi membuat secara palsu atau memalsukan surat yang seolah-olah surat tersebut adalah surat yang asli dan tidak dipalsukan dikenai Pasal 263 ayat (1) KUHP. Sedangkan mencantumkan suatu keterangan palsu di dalam suatu akta otentik dikenai Pasal 266 ayat (1) KUHP.
Catatan:
Aspek-aspek formal akta Notaris dapat saja dijadikan dasar atau batasan untuk memidanakan Notaris. Sepanjang aspek-aspek formal tersebut terbukti secara sengaja, bahwa akta yang dibuat dihadapan dan oleh Notaris tersebut untuk dijadikan suatu alat melakukan suatu tindak pidana terhadap pembuatan akta pihak atau akta relaas.
Dalam hal pemenuhan unsur penyelewengan prosedural, misalnya memeriksa KTP (Identitas) Penghadap dan syarat materiil lainnya, juga Notaris melakukan penyimpangan, meskipun telah diketahui bahwa identitas KTP tersebut tidak sesuai dengan penghadap, namun tetap dibuat akta oleh Notaris yang bersangkutan, maka hal tersebut merupakan Pelanggaran Hukum yang dapat dilakukan Oleh Notaris Berkaitan dengan Akta yang Dibuatnya .**
Penulis : Praktisi, Akademisi, Saksi Ahli dan pendiri ILC (Indonesia Law Center)